Senin, 29 Juni 2009

Modal Sosial dan Urbanisasi Sehat di Dunia Globalisasi

"MODAL SOSIAL & URBANISASI SEHAT DI GLOBALIZED DUNIA"

Pentingnya memajukan modal sosial dalam perencanaan pembangunan sehat, kami perlu dapat ukuran, monitor, dan pembelaan untuk ini dan secara bersama merealokasikan sumber daya. Yg diperlukan untuk memperlengkapi kembali kondisi imbang kekuatan pekerja sehat sehingga individualistis biomedical dan pandangan ekonomi lengkapkan secara bersama, fokus ilmu sosial dalam komunitas dan struktur sosial.

Ada kunci peranan disini untuk pekerja sehat dalam mengumpulkan hasil sehat dan menemukan serta menambah nilai intervensi sektor sosial, tetapi pertahanan dalam sektor sehat perlu diatasi. Banyak riset mungkin berperan untuk kebijaksanaan jika sesuai dengan perhubungan politis yang baik, bukti dapat dipercaya dan peneliti dan pembentuk kebijaksanaan jaringan biasa saling.berbagi dan percaya. Memaksimalkan harapan untuk berhasil, oleh karena itu memerlukan perbaikan kebijaksanaan yang dapat mengatasi pertahanan dan usul yang benar untuk meletakkan pada waktu yang tepat.

Kami menganggap bahwa 10 unsur kunci kami telah membangun modal sosial yang praktis berguna sebagai penunjuk jalan untuk pengembangan kebijaksanaan dan pengaplikasiannya. Unsur ini dapat membantu sumbangan modal sosial dapat menuju urbanisasi sehat di globalized dunia.


10 unsur kunci yang dibutuhkan dalam proses pengembangan modal sosial :

1. Menaksir hubungan & menanyakan pertanyaan yg benar. Pilihan dari pertanyaan dipengaruhi perkiraan ukuran dan petunjuk efek sehat, kepentingan diberitakan dlm agenda kebijaksanaan pemerintah, pemilihan waktu dan urgensi mendasari kebijaksanaan sehat atau siasat.

2. Mengenali pemegang taruhan. Analisis pemegang taruhan mengidentifikasi orang, kelompok, dan organisasi itu penting dianggap bila memperhatikan efek sehat.

3. Mengembangkan kapasitas pemegang taruhan mengambil tindakan dan membangun modal sosial dan kohesi. Kebijaksanaan dapat merubah hanya terjadi jika cukup pengetahuan, keahlian dan sumber daya pada tempatnya.

4. Menaksir lembaga dan memastikan kesempatan intersectoral kerja sama. Lembaga menentukan rangka dlm kebijaksanaan perbaikan mungkin mempengaruhi pemegang taruhan di pemerintah, pribadi sektor dan sipil masyarakat, dan gelanggang utama di mana pemegang taruhan saling berhubungan satu sama lain.

5. Memperkuat permintaan dari sisi penguasaan: menaksir dan memastikan partisipasi masyarakat dari organisator dan segi yg sah, termasuk mengenai kepastian akses ke data.

6. Memperkuat lembaga' peranan, fungsi dan struktur. Ikutserta dalam mengorganisir dan kritis diantara kebijaksanaan sasaran hasil, kebijaksanaan aksi-aksi, dan bagaimana mereka mempengaruhi kelompok pemegang taruhan kunci dalam sektor sehat dan sektor lain dalam berbagai tingkat.

7. Mengerahkan sumber daya. Untuk meningkatkannya mereka perlu merubah sosial lebih baik dalam pembagian sumber daya.

8. Membela untuk up-scaling dan merubah. Kebijaksanaan dan membidik sesuai pemegang taruhan yang berbeda tingkat.

9. Mengawasi dan mengevaluasi efek. Menyediakan peluang ke seperangkat sistem untuk mengawasi tahap awal.

10. Mengenali dgn tepat tingkat dan jenis intervensi. Sendiri, sekitar, kota, dan lain-lain.


Enam persyaratan yang penting bagi intervensi kebijaksanaan realistis untuk modal social :

1. Kita mengetahui kondisi arus, termasuk peranan norma-norma.

2. Kita mengetahui arus sehat dan kecenderungan sektor sosial dan mungkin berakhir setelah periode tertentu waktu ini cenderung terus ada.

3. Kita mampu menentukan hasil alternatif yg lebih disukai, atau hasil yg kami inginkan

4. Kita mampu merumuskan sehat dan kebijaksanaan sektor sosial (berdasarkan pengalaman masa lalu, intuisi, model resmi ,modal sosial dan kohesi) yang cenderung akan merubah arus dan membantu kita mencapai hasil yg kami inginkan

5. Kita mempunyai kapasitas (keahlian, sumber daya, persetujuan, dan lain-lain. ) melengkapi kebijaksanaan sehat ini secukupnya supaya tetap mencapai hasil yg kami inginkan

6. Kita mempunyai kapasitas pengawasan yang memberitahu kita jika kita menemukan jalan buntu jadi bagaimana kita perlu memodifikasi sehat dan kebijaksanaan sektor sosial, dan sebenarnya tetap mencapai hasil yg kami inginkan

Kebijakan Umum

Policy (kebijakan) :

- Kumpulan keputusan yang diambil pelaku demi usaha

- Memilih tujuan & cara mencapai tujuan

Sehingga : Pembuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.


Input ==> proses ==> out put

Analisa --- membuat --- kebijakan

Politik ---- keputusan --- umum


KEBIJAKAN PUBLIK

Mengenai:

- apa yg pemerintah lakukan?

- mengapa mereka melakukannya?

- apa perbedaan membuatnya?


pilih lakukan atau tidak lakukan


Tugas pemerintah:

- mereka mengatur perselisihan dalam masyarakat

- menyalurkan barang dan jasa

- membuat uang ==> daripada kebijakan umum ==> mengatur : a. organisasi. b. penyaluran. c.produksi


Wilayah:

- pertahanan

- urusan asing

- pendidikan

- keamanan

- pajak

- sehat, dan lain-lain. ==> manusia, uang, bahan, program, pimpinan.


Modern ==> tingkah laku

memproses ==> deskripsi & penjelasan ==> sebab & efek aktifitas pemerintah.


PEMBAGIAN DAN ALOKASI

Pembagian dan alokasi nilai – nilai dalam masyarakat yang mengikat ==> Sering tidak merata ==> Konflik <== Hub. Dengan kekuasaan & kebijakan pemerintah


Menyangkut :

- Benar baik

- Kenutuhan & keinginan

- Manusiawi


KEKUASAAN ==> Kemampuan mempengaruhi tingkah laku seseorang & kelompok

sesuai keinginan pelaku <== Diperebutkan, Dipertahankan


Pengambilan keputusan <== Keputusan yang mengikat ketika ditaati <==(umum bukan Individu) Alternatif – alternatif, Prioritas <==(lebih sulit, kolektif) Who gets : What, When, How (Heterogen/ Homogen )


Point :

- Negara

- Kekuasaan

- Pengambilan keputusan

- Kebijakan

- Distribusi & alokasi resources


Negara ==> organisasi dalam satu wilayah ==> Sah, Ditaati rakyat

==> Kehidupan Negara ==> Systemnya


POLITIK DALAM KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan ==>

Perawat :

- Konsumen peduli pemerintah

- Peduli swasta

- Sektor lain


Politik ==> tujuan umum

Ilmu :

1. Proses penentuan tujuan

2. Melaksanakan tujuan


Pengambilan keputusan

Tujuan ==> kebijakan umum ==> Power ==> Mengatur & membagi

Autority ==> sumber yang ada <== Persuasi paksaan


ANALISA POLITIK

1. Institusional : kebijaksanaan sebagai instansi antivity

Pemerintah :

- sah menurut hukum

- universalisme

- memegang hak monopoli

==>hadiah, hukuman

2. Teori group : kebijaksanaan sebagai keseimbangan grup

Mengatur ==> perselisihan grup

- menetapkan peranan permainan

- mengatur penyelesaian perselisihan keseimbangan minat

- menetapkan penyelesaian perselisihan dalam bentuk kebijakan umum

- menguatkan penyelesaian perselisihan ini

3. Teori elite : elit, berhenti & administrasi, petunjuk kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, gumpalan

Kebijakan elite ==> tergantung pada : oknum, sistem social, system budaya

4. Rasional : kebijaksanaan pencapaian sasaran efisien

Efisien :

- nilai mencapai

- nilai sacrifica

Rekening:

- sosial

- politis

- migrasi

- kebudayaan

- kuantitatif

- kualitatif

Pembuat kebijakan – harus:

1 tahu semua pilihan2 nilai sosialnya

2 semua alternatif kebijaksanaan tersedia

3 semua akibat

4 semua rasio mencapai / sacrified semua alternatif kebijaksanaan

5 memilih alternatif kebijaksanaan paling efisien

-----------anjuran--------------

masukan ========> masukan

-----------situasi --------------

5. Incremental : kebijaksanaan sebagai variasi di pos

“Perkembangan masyarakat” ==> Pembangunan sosial ==>Untuk memecahkan masalah kebijaksanaan dalam perasi pos

Halangan =========> SWOAT

waktu

latar belakang masalah S = Kekuatan

determinan masalah W = kelemahan

prioritas masalah, dll A = analisis

6. Proses

7. Teori pilihan public

8. Game theory : kebijaksanaan sebagai pilihan rasional dlm situasi pertandingan

Konsep utama: STATEGI

pilihan terbaik

hasil terbaik

Pemain A

alternatif (1) alternative(2 )

Pemain B alternatif (1) hasil hasil

alternatif (2) hasil hasil

MELIHAT :

- manusia

- Permainan

- Bagaimana memainkan permainan

9. TEORI SISTEM : kebijakan sebagai system output

- Proses pengambilan kebijakan dlm ruang lingkup DPD-RI

- Prinsip dasar : masyarakat saling tergantung satu sama lain seperti organisme dlm biologi

- Dikembangkan oleh politisi : David Easton tahun 1953

- INPUT : permintaan (demand), dukungan (support)

- OUTPUT : keputusan (decision), action

Stratifikasi Sosial

STRATIFIKASI SOSIAL
Stratifikasi Sosial : perbedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya
Sistem Stratifikasi

1. perbudakan
2. pemilikan tanah
3. kasta
4. pekerjaan

Bentuk stratifikasi sosial
1. Stratif Usia

usia muda mempunyai hak & kewajiban berbeda dengan yang lebih tua
ex:-Hukum adat Kekuasaan .elizabeth raja george
-senioritas
2. Stratif Jenis Kelamin
Hak dan Kewajiban laki laki berbeda dengan perempuan
3. stratif hub kekerabatan
hak dan kewajiban berbeda antara ayah , ibu,anak, paman, bibi, kakek ,nenek.
4. stratif keagamaan
5. stratif etnik
oramg palestina &arab tidak mempunyai hak yang sama dengan orang yahudi
6. stratif ras
pembedaan hak dan kewajiban antara kulit hitam dan kulit putih

Stratifikasi karena status yang di raih
1. Stratifikasi pendidikan
Hak dan kewajiban masyarakat sering di beda bedakan atas dasar pendidikan formal
2. stratifikasi pekerjaan
ex:asisten dosen ,lektor dan guru besar
3. Stratifikasi Ekonomi
pembedaan berdasarkan penguasan dan pemilikan materi


SISTEM STRATIFIKASI :
1. Stratifikasi tertutup .
anggota masyarakat tetap rada status yang sama
ex: sistem kasta kelompok endogami , minoritas dan mayoritas
2. Stratifikasi Terbuka
status berbeda dari orangtuanya . indikator : mudak tidaknya sering tidaknya
KELOMPOK:
-Atas
-Menengah
-Bawah

M obilitas Sosial perpindahan status dalam stratifikasi sosial

* Mobilitas Horizontal
* Mobilitas Vertikal :

-Mobilitas Intragenerasi
-Mobikitas antar generasi
SIMBOL STATUS
-Pakaian
-Gaya hidup
-Relasi
-Tempat tinggal


Max Weber:
1. kelas :penguasaan atas barang dan memperokeh penghasilan
Berdasarkan kekayaan yang dimiliki & dan faktor kepentingan ekonoli
2 Status ditentukan ukuran kehormatan
Santri, Priyai,Abangan
statusnya yang dimaksud adlah persamaan gaya hidup
3 Kekuasaan tin dakan b ersama untuk tujuan terencana :kekerasan , intimidasi


Kal Marx :
Pemilihan Alat Reproduksi

* kelas borjuis : kalamghan atas yang mempunyai penghjasilan yang sangat mengukupi , memiliki modal ,investasi dan saham
* kelas proletal: atau kalangan kebawah yang kebutuhan sehari hari tidak mencukupi berpenghasikan tidak tetap dan sangat kurang

Teori Fungsional
Manusia mempunyai kemampuan dan bakat
u/menstabilkan masyarakat
menentukan hal hal istimewa dan hak hak individu


TEORI KONFLIK
harus ada equality ,sifat eksploitatif
EX: pasien harus diperlakukan sama
kerugian &dan manfaat
- penurunan status
- menciptakan harapan


- elsploitasi teori, eksploitasi kelas rendah dari sistem ekonomi kapitalis
- teori interaksi
stratifikasi sosial : penting
mengenal masing masing ras

* Amalgamasi : perkawinan campur arb&dan jawa
* asimikasi :
* plu;arisme : majemuk
* segregasi :tempat tinggak, tempat kerja, pergaulan

MENGUKUR KELAS SOSIAL

* Metode Subyekif Menilai status sendiri dengan menempatkan diri pada skala kelas (A,M,B)
* Metode Obyektif pendidikan pekerjaan ,ingome, tempat tinggal
* Metode Reputatinal menikai status orang lain dengan jalan menempatka orang kain pada skala tertentu (treimen)

upaya masyarakat untuk mengurangi ketidaksamaan :

1. program IDT
2. Beasiswa
3. progran perunahan murah
4. orang tua asuh

Di unisoviet &RRC
anak anak dipisahkan dari ortu &di didik bersama dalam komune

di israel sistem kibbutz

Rancanagn UU Praktik Keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Undang – undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat. PPNI pada kongres Nasional keduanya di Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki.
12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan tujuan praktik keperawatan?
2. Mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan.?
3. Mengapa (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
4. Apa saja isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan?
5. Apa tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah RUU praktik keperawatan.
1. Mengetahui definisi dan tujuan praktik keperawatan
2. Mengetahui pentingnya Undang-undang Praktik Keperawatan terkait dengan profesi
3. Untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan
4. Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan
5. Mengetahui tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.

2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.
Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.
Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.
Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.
Dan pasal 2 berbunyi :
“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)
. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar
. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)
Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :
1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan
1 Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
2 Tugas Keperawatan
a. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
b. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat
 Wewenang
c. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
d. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
e. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
f. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
g. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan keperawatan


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan
2. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat
4. 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan
5. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat
6. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar
7. Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing di tingkat global
8. Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu
9. Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.
10. Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan)
11. RUU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di Indonesia.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan, maka saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut:
a. Indonesia memerlukan Undang-Undang yang mengatur segala hal tentang dunia keperawatan. Apalagi akan dibukanya pasar bebas AFTA 2010
b. Diharapkan Menkes proaktif dengan DPR segera membahas RUU agar dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang
c. Para perawat harus mempunyai izin dari suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk memberikan izin praktek bagi perawat, sehingga bisa melindungi pasien.

Memahami seluk beluk konflik antar etnis

MEMAHAMI SELUK BELUK KONFLIK ANTAR ETNIS
Oleh: Sugeng Mashudi, S.Kep.,Ns
Diseminarkan pada mata kuliah Sospol dan Masalah Kesehatan
Program Studi S1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan UMSurabaya


Setelah perang dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu sosial bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan berakhirnya perang dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Para pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia baru yang makmur dan damai. Tata dunia baru ini akan mencegah setiap bentuk peperangan, gesit di dalam menanggapi berbagai bencana alam, dan secara aktif melakukan pemerataan sumber daya demi kemakmuran seluruh bangsa. (Brown, 1997)[1]
Semua harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun belakangan ini, dunia diwarnai dengan berbagai konflik etnis yang melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Pada beberapa konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan dapat disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999 menarik banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa konflik lainnya, seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap meletus menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan bahwa PBB akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan. Pada konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat lebih sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat disebut genosida atau belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang dilakukan, ketika orang-orang dibantai dan pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya tidak terlalu peduli dengan konflik ini, terutama karena kepentingan negara-negara maju yang ada di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang muncul dari terjadinya konflik etnis. Tulisan ini juga hendak memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik etnis dan kekerasan massal. Pada bagian pertama, saya akan mencoba mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik. Kemudian, saya akan mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik etnis, baik dari penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian ketiga, saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Pada bagian akhir, berbekal beberapa argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.


Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81).[2] Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas etnis’.
Pertama, sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama.
Ketiga, orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang mereka tempati. Dan keenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut sebagai komunitas etnis.
Dari kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Yang juga harus ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis, karena hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan bukan persoalan etnis.
Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.

Akar-akar Konflik Etnis
Biasanya, orang beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai. (Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.

Di dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997) Saya akan coba membedah satu per satu. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, ” yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997) Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Brown lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.
Kedua, jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat tersebut terpaksa berusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
Brown lebih jauh berpendapat, bahwa ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya telah roboh, maka situasi politis yang ada biasanya lebih mendorong kelompok-kelompok yang ada untuk mengambil sikap menyerang daripada bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis yang ada seringkali juga berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam masyarakat mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak membutuhkan teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara infanteri yang membawa senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini adalah terciptanya situasi politis yang semakin tidak stabil. Situasi ini biasanya akan berkembang menjadi konflik etnis dengan skala yang lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan senjata nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh lebih efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di dalam proses perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata nuklir bisa menjadi alat penjaga kestabilan yang efektif.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)
Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. (Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
Problem ini semakin rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih belum stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari sempurna di dalam menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok etnis mendirikan organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu, serta menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
Keberadaan kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan antar kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik pun akan semakin besar.
Di sisi lain, paham nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa terelakkan.
Di dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar etnis.[3] Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.[4]
Tentu saja, hal ini sangat tergantung dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika proses demokratisasi sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya adalah suatu bentuk tirani minoritas terhadap kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka tingkat ketegangan antar etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses demokratisasi akan mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim otoriter tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan memiliki resiko tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok etnis tertentu menuntut perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi lain, rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang seimbang, baik dalam pemerintahan maupun dalam ekonomi, bagi semua kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat, maka proses demokratisasi justru akan berdampak positif bagi semua problematika terkait dengan perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2) Faktor berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain, maka yang terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis minoritas seringkali tidak terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di suatu masyarakat tidak terlalu jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan semua kelompok etnis akan terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan kondisi yang ideal bagi proses demokratisasi.
(3) Jika militer memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis mayoritas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju perdamaian dan demokrasi akan cukup besar. (Brown, 1997)
(4) Dan jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka biasanya proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang terjadi adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan menguasai politik masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika rezim lama jatuh dari kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan nasional”, demikian tulis Brown, “akan tetapi momen ini tidak akan bertahan lama jika masalah mendasarnya diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan sebaliknya, jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka pimpinan oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini, pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar berbagai kelompok etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah meluasnya konflik antar etnis selama proses transisi ke pemerintahan demokratis, adalah dengan menghadapi berbagai problem etnis tersebut sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan ketegangan antar etnis dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis dapatlah dicegah, atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5) Horowitz lebih jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak partai politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik bukanlah bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih merupakan cerminan dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini, proses pemilihan umum tidak akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas akan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis minoritas menjadi korban dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung dari suatu kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6) Juga di dalam masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali menggunakan sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika sosial seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai penyebabnya. Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di berbagai belahan dunia, ketika proses pemilihan umum sedang berlangsung. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan otoriter, kompromi dan deliberasi publik adalah suatu proses yang asing. Hal ini tentu saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses demokratisasi dan upaya penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media massa juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 87)
(7) Dan terakhir, banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara yang secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pelaksanaannya juga masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu dibutuhkanlah suatu perubahan konstitusional dan perubahan komitmen politis yang signifikan, sehingga berbagai problematika penyebab dan akibat terjadinya konflik etnis dapat ditanggapi secara tepat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993) Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.
Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain, orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai alasan untuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
Problematika semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.

Kesimpulan sementara
Dengan demikian, Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory yang berguna untuk menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh dunia. Sangatlah sulit bagi kita untuk merumuskan suatu pisau analisis yang universal untuk menggambarkan mengapa konflik etnis yang satu memiliki skala yang lebih besar daripada konflik etnis lainnya. Akan tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan beberapa alternatif hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
Pertama, konflik etnis dapat terjadi, jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru, ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut. Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk menjelaskan akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak, karena masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan dampak-dampak yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya pecah.

Dampak dari Konflik Etnis
Apakah dampak yang ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89) Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi politis. (Brown, 1997)
Ketika kelompok etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.
Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang penting.
Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Banyak hal-hal di atas akan menjadi problem, baik sebelum maupun sesudah negara baru terkait resmi terbentuk. Dengan demikian, menurut Brown, komunitas internasional haruslah segera membuat keputusan mengenai keenam hal di atas secepat mungkin (Brown, 1997, hal. 91). Jika keputusan terlambat dibuat, maka kemungkinan akan terjadi kekacauan di negara baru tersebut, atau malah terjadi konflik etnis yang melibatkan kekerasan. Kestabilan dan keamanan internasional adalah taruhannya di sini.
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak mampu membuat persetujuan bersama, baik dalam hal rekonsiliasi ataupun perpisahan legal politis secara damai. Banyak pertentangan antar etnis justru bermuara pada konflik yang melibatkan kekerasan pada skala yang masif. Tentu saja, motif-motif yang mengakibatkan terjadinya konflik ini beragam. Kelompok etnis minoritas bisa menuntut untuk membentuk negara mereka sendiri, atau menuntut otonomi politik dalam bentuk federal guna menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, kelompok etnis mayoritas biasanya hendak memperbesar kekuasaan mereka atas seluruh teritori, termasuk kekuasaan mereka atas kelompok minoritas.
Pada beberapa kasus, kelompok etnis minoritas kalah, dan pemerintah yang berkuasa berhasil mewujudkan tatanan politis yang mereka inginkan. Hal ini paling jelas di dalam kasus Tibet. Kasus-kasus semacam ini, menurut Brown, memiliki dampak sangat kecil bagi komunitas internasional, tepat karena status kekuasaan tidaklah berubah (Brown, 1997, hal. 92). Hal yang menjadi perdebatan biasanya adalah, apakah komunitas internasional akan memberikan tekanan politis kepada kelompok etnis mayoritas untuk menghormati hak-hak dasar kelompok etnis minoritas, atau tidak?
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok etnis minoritas berhasil memberontak, dan membentuk negara mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Bangladesh dan Slovenia. Jika hal ini terjadi, maka komunitas internasional juga harus menghadapi enam konsekuensi, seperti pada perpisahan secara damai. Komunitas internasional juga harus membantu negara baru tersebut untuk pulih kembali setelah mengalami perang saudara. Akan tetapi, ada juga kasus-kasus, di mana tidak ada satu pihak pun yang menang di dalam pertempuran. Konflik pun berkembang semakin besar, dan bermuara pada kebuntuan. Kasus ini bisa ditemukan di Angola, Cyprus, dan Sri Lanka. Tidak ada solusi politik ataupun militer yang bisa menyelesaikan konflik di sana.
Pertanyaan reflektif dari semua ini adalah, mengapa kita harus mempedulikan hal-hal semacam itu? Mengapa kita harus mempedulikan terjadinya perang antar etnis di negara yang letaknya sangat jauh dari negara kita sendiri? Apakah kita memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di dalam konflik-konflik tersebut? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, skala konflik etnis menciptakan semacam kewajiban moral di dalam diri kita yang mendengarnya untuk melakukan intervensi, sehingga skala kekerasan bisa diminimalisir, ataupun dihilangkan sama sekali. Ada semacam panggilan kepada kita untuk mengurangi penderitaan, apapun bentuknya, terutama yang diakibatkan oleh perang. Kedua, beberapa konflik etnis secara langsung mengancam kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan. Secara khusus, menurut Brown, ada enam aspek dari kehidupan komunitas internasional yang mendapatkan pengaruh (Brown, 1997).
(1) Konflik etnis bisa bermuara pada pembantaian rakyat sipil. Mengapa ini terjadi? Menurut Brown, konflik antar etnis biasanya tidak menggunakan teknologi militer yang canggih. Biasanya, pasukan yang bertempur adalah pasukan yang baru terbentuk, dan terdiri dari milisi yang sebelumnya merupakan warga negara sipil (Brown, 1997). Di dalam pasukan tersebut terdapat pembagian kerja, dan warga sipil biasanya menjadi pemasok makanan strategis yang menjamin pasukan dari sisi logistik. Penyerangan kepada warga sipil bertujuan untuk memutus pasokan logistik ini. Kedua, sebuah kelompok militer yang lemah biasanya akan mengandalkan strategi perang gerilya, dan strategi pengeboman tempat-tempat yang mereka anggap strategis, seperti kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan cara ini, adanya korban masyarakat sipil tampak tidak terelakkan.
Ketiga, di dalam pertempuran, kelompok militer dan kelompok sipil seringkali bercampur baur, terutama jika pertempuran terjadi di arena terbuka ataupun tempat umum. Dalam situasi itu, korban yang berasal dari masyarakat sipil tidaklah terhindarkan. Dan keempat, konflik antar etnis biasanya merupakan kulminasi dari pertempuran untuk merebut suatu wilayah tertentu. Untuk mengamankan suatu wilayah dari kekuasaan kelompok etnis lainnya, milisia ataupun militer biasanya mengusir masyarakat sipil yang tinggal di daerah tersebut. Pengusiran tersebut bisa dilakukan dengan cara mengancam, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan pembersihan etnis. Menurut Brown, banyak konflik antar etnis melibatkan terjadinya tindak kekerasan massal dan pembantaian sistematis terhadap rakyat sipil (Brown, 1997). Suatu tindakan yang sekarang banyak dikenal sebagai genosida.
Mengapa kita harus peduli dengan semua itu? Mengapa kita harus peduli dengan konflik yang letaknya ribuan kilo meter dari tempat kita hidup? Salah satu alasannya adalah, karena konflik tersebut melanggar nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat internasional, dan dengan demikian mempengaruhi masyarakat internasional secara keseluruhan. Menanggapi ini, banyak usaha telah dilakukan untuk membedakan secara jelas yang mana pihak yang memberontak, dan yang mana pihak yang secara sah memiliki otoritas atas suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan merumuskan semacam kode etik peperangan. Akan tetapi, dalam realitas, hal ini seringkali diabaikan, terutama ketika kedua pihak yang berperang mulai secara sistematis dan disengaja menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran mereka.
Alasan lainnya adalah, karena pembiaran terhadap semua bentuk pembantaian masyarakat sipil adalah suatu tindakan yang melanggar moralitas universal kita sebagai manusia. Kekejaman yang terjadi di Jerman pada perang dunia kedua, atau pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia pada akhir abad kedua puluh lalu, menyentuh rasa kemanusiaan di dalam diri kita untuk melakukan intervensi guna mencegah terjadinya korban lebih banyak lagi. Jadi, ada kewajiban moral dan kewajiban legal yang mengikat komunitas internasional untuk melakukan intervensi terhadap semua bentuk konflik etnis, terutama yang secara nyata menjadikan warga sipil sebagai korban mereka.
(2) Terjadinya konflik etnis biasanya bermuara pada terciptanya begitu banyak pengungsi, terutama karena konflik biasanya melebar menjadi penyerangan terhadap warga sipil. Misalnya, sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, ketika perang di Khasmir meletus. Perang antara Armenia dan Azerbaijan membuat sekitar 600.000 orang harus kehilangan tempat tinggal mereka. Perang di Bosnia membuat sekitar 600.000 orang harus meninggalkan kampung halaman mereka, dan menuju Balkan. Pengungsi karena konflik-konflik lainnya, seperti di Bhutan, Birma, Kamboja, Iraq, dan Darfur, juga tak kalah besar.
Dengan jumlah sebanyak itu, kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama, jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya, negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini tentu saja memperluas skala perang.
Kedua, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketiga, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati, terutama juga para pengungsi mendirikan sekolah, surat kabar, organisasi-organisasi berbasiskan etnis, dan rumah ibadah mereka sendiri.
Keempat, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri, terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. (Brown, 1997, hal. 93). Dan kelima, jika kehadiran para pengungsi, dengan segala problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi pada krisis yang tengah terjadi.
(3) Penggunaan senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya sungguh memberikan suatu dimensi baru di dalam arti kata perang, ataupun kata konflik etnis. Sangatlah mungkin, bahwa pihak-pihak yang saling bertempur menggunakan senjata pemusnah massal tersebut. Sejauh saya mendapatkan informasi, India dan Pakistan masing-masing memiliki senjata nuklir. Ketegangan politis di antara dua negara tersebut terus meningkat. Hal yang sama kiranya terjadi antara Russia dan Ukraina. Walaupun dalam jangka waktu dekat dapatlah dipastikan bahwa tidak akan pecah konflik besar di negara-negara tersebut, tetapi kemungkinkan terjadinya konflik yang melibatkan senjata pemusnah massal di masa depan tetaplah harus diperhatikan.
Kemungkinan lainnya, menurut Brown, adalah bahwa pemerintah pusat yang terkait dengan konflik yang terjadi mengambil langkah-langkah drastis dengan menggunakan senjata pemusnah massal untuk mempertahankan diri. (Brown, 1997, hal. 94) Semua kejadian ini secara jelas langsung mempengaruhi situasi keamanan internasional. Jika konflik dengan menggunakan senjata pemusnah massal sampai terjadi, maka itu sudah menghancurkan semua perjanjian internasional yang telah dibangun sebelumnya. Contoh paling jelas adalah tentang bagaimana pemerintah Irak menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pemberontakan suku Kurdi pada dekade 1980-an.
(3) Menurut Brown, konflik antar etnis juga memiliki efek berantai. (Brown, 1997) Konflik antar etnis dapat menyebar dengan beberapa cara. Jika suatu negara yang terdiri dari beragam etnis mulai pecah serta memperbolehkan beberapa kelompok untuk melepaskan diri, maka kelompok-kelompok lainnya pun akan ikut menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan. Hal semacam ini terjadi di Uni Soviet, di mana 14 republik berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Moskwa. Kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Uni Soviet, seperti Chechnia, Kalmyk, Tatarstan, dan Tymen, kini terus berusaha memperoleh otonomi dari Moskwa.
Masalah lainnya juga muncul, ketika negara A memberikan kebebasan bagi kelopmok B untuk membentuk negaranya sendiri. Biasanya, kelompok minoritas di dalam B juga akan menuntut untuk melepaskan diri dari B. Jika kelompok minoritas tersebut memiliki ikatan etnis dengan negara A, maka mereka biasanya ingin kembali untuk bergabung dengan negara A. Hampir semua efek berantai dari konflik antar etnis ini memiliki skala kekerasan yang besar. Besarnya tingkat kekerasan yang terjadi ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagi dunia internasional. Pertama, karena kekerasan semacam itu bisa menciptakan ketidakstabilan regional yang bermuara pada terjadinya kekacauan yang mempengaruhi lalu lintas ekonomi maupun kondisi politik daerah terkait. Kedua, terjadinya kekacauan politis maupun ekonomi ini bisa memicu munculnya kekuatan politis garis keras yang hendak merebut kekuasaan. Kekuatan garis keras ini biasanya berpegang pada ideologi ataupun agama tertentu sebagai basis dari organisasi mereka. Mereka hendak memaksakan cara pandang mereka untuk diterapkan sebagai ideologi dasar.
Ada efek berantai lainnya yang seringkali terlewatkan, yakni bahwa berhasilnya gerakan perlawanan di tempat yang satu biasanya akan menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan di tempat lainnya. Semakin berkembangnya teknologi komunikasi memungkinkan berita tentang berhasilnya suatu gerakan perlawanan di kawasan tertentu untuk segera diketahui oleh seluruh dunia. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan gerakan perlawanan secara massal yang memiliki cangkupan internasional.
(4) Dalam banyak kasus, menurut Brown, pengaruh dari kepentingan-kepentingan negara lain juga bisa mempengaruhi jalannya konflik antar etnis. (Brown, 1997, hal. 96) Misalnya, pada 1990, Amerika Serikat mengirimkan tentaranya ke Liberia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terperangkap akibat konflik di sana. Pada tahun yang sama, Perancis dan Belgia mengirimkan tentaranya ke Rwanda dengan alasan yang sama. Amerika Serikat melakukan intervensi pada perang saudara Irak, karena sadar bahwa kepentingan industri mereka akan minyak sedang terancam akibat perang. Hal ini menegaskan apa yang sudah saya tulis sebelumnya, bahwa kepentingan politik dan ekonomi negara lain akan mempengaruhi jalannya konflik antar etnis yang tengah terjadi.
(5) Konflik antar etnis, jika biarkan terus berlangsung, akan mengancam kredibilitas banyak organisasi internasional. Salah satu alasan keberadaan NATO sekarang ini adalah untuk menjaga stabilitas di kawasan Atlantik Utara, yakni Amerika dan Eropa. Akan tetapi, ketika konflik di Yugoslavia terjadi, organisasi ini nyaris tidak berbuat apapun. Hal yang sama kiranya terjadi, ketika Amerika Serikat melanggar perintah dari PBB untuk tidak melakukan penyerangan ke Irak pada awal abad ke-21. Yang terakhir ini sekaligus membuktikan lemahnya kekuatan politik dan kredibilitas PBB sebagai lembaga internasional yang berusaha menjaga perdamaian dunia. Hal ini tentunya menjadi preseden buruk bagi dunia internasional, karena dengan mudah suatu negara bisa menciptakan konflik tanpa ada halangan apapun dari komunitas internasional yang seharusnya memiliki otoritas untuk mencegahnya.
Secara umum, pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma etis internasional akan memotong semua prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi kehidupan bersama di level internasional. Dengan kata lain, konflik antar etnis yang dibiarkan berlanjut tanpa intervensi akan mengancam tidak hanya keberadaan tatanan regional, tetapi juga kredibilitas tatanan internasional sebagai keseluruhan. (Brown, 1997)

Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir akibat dari konflik antar etnis, yang seringkali memiliki cangkupan kekerasan yang luas? Pandangan umum mengatakan, bahwa pihak asing tidak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan menghadapi konflik antar etnis, karena konflik ini tepat berakar pada kebencian yang diwariskan dari masa lalu yang partikular. Kebijakan yang umum dilakukan adalah dengan menarik diri dari konflik, serta melihat bagaimana konflik berjalan dan mengakhiri dirinya sendiri. (Brown, 1997, hal. 97) Di samping itu, penyebab dari terjadinya konflik antar etnis juga sangatlah banyak. Beberapa aspek juga bisa memperbesar skala kekerasan di dalam konflik yang tengah terjadi. Aspek-aspek tersebut juga seringkali merupakan hasil dari pengaruh “kekuatan asing” di luar etnis-etnis yang tengah berseteru.
Menurut Brown, cara yang paling tepat untuk menghadapi konflik antar etnis adalah dengan menanganinya sedini mungkin, sebelum masalah menjadi semakin rumit, dan kekerasan yang lebih besar terjadi. (Brown, 1997) Lebih dari itu, pencegahan terjadinya konflik etnis jauh lebih baik daripada berusaha menyelesaikan apa yang telah terjadi.
Pada level ini, ada baiknya saya mengajukan satu pertanyaan penting, yakni apakah yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak luar untuk meredakan tegangan yang muncul akibat terjadinya konflik antar etnis? Pada level sistemik, hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah soal isu keamanan. Jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi salah satu kelompok yang tengah dalam konflik, maka kemungkinan besar, senjata tersebut justru akan meningkatkan intensitas konflik yang terjadi. Tindakan ini juga akan dianggap sebagai ancaman dari kelompok lainnya.
Di samping itu, jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi kedua belah pihak yang tengah berkonflik, supaya terjadi keseimbangan kekuatan, maka hal ini jugalah problematis. Potensi korban dan ketegangan politis untuk akan bertambah. Dengan demikian, tindak pemberian senjata bagi kelompok apapun di dalam konflik antar etnis adalah suatu tindakan yang kontra produktif, baik bagi kedua kelompok yang tengah berseteru, maupun bagi komunitas internasional yang pasti akan terpengaruh oleh konflik tersebut.
Pada level domestik, menurut Brown, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. (Brown, 1997, 98) Pertama, komunitas internasional haruslah berusaha membantu kelompok yang dominan di dalam konflik untuk menciptakan negara efektif (effective states). Negara efektif adalah negara yang didasarkan tidak lagi melulu pada nasionalisme, tetapi lebih pada kesepakatan bersama yang kemudian dilegalisasi di dalam hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Dengan terbentuknya negara efektif ini, nasionalisme semu dan etnosentrisme pun akan berkurang intensitasnya. Akan tetapi, komunitas internasional juga harus berhati-hati, jangan sampai pembentukan negara efektif ini malah jatuh ke dalam totalitarisme baru, yang justru akan memperbesar skala dan intensitas konflik.
Kedua, komunitas internasional juga bisa membantu kelompok-kelompok terkait untuk menciptakan suatu pemerintahan yang bersifat representatif (representative governments). Di dalam pemerintahan semacam ini, tidak ada satu pun kelompok, seminoritas apapun dia, dijauhkan dari pembagian kekuasaan. Institusi politik yang ada harus ditata dengan kepastian, bahwa setiap kelompok memiliki perwakilannya di birokrasi dan parlemen, serta bahwa setiap kepentingan mereka dapat dipenuhi semaksimal mungkin oleh sistem yang ada. Untuk mencapai ini, pemilu dengan sistem ‘pemenang akan mendapatkan segalanya’ tidaklah boleh diterapkan. Selain berperan sebagai penasehat, perwakilan dari komunitas internasional juga bisa berperan sebagai mediator di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Komunitas internasional juga bisa memberikan pendampingan di bidang ekonomi (economic assistance), terutama bagi kelompok yang sistem ekonomi maupun politiknya masih beroperasi secara tidak efektif. (Brown, 1997, 98)
Ketiga, menurut Brown, komunitas internasional haruslah mendorong masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk sungguh menghormati dan memberdayakan perbedaan-perbedaan kultural. (Brown, 1997) Atau minimal, komunitas internasional haruslah menekan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk mencegah terjadinya diskriminasi pada kelompok yang minoritas. Setiap kelompok etnis haruslah memiliki kesetaraan status di hadapan hukum. Setiap kelompok etnis juga haruslah memiliki hak-hak ekonomi maupun politik yang sama. Hak untuk beragama dan beribadah juga haruslah dijamin. Dan sejauh itu memungkinkan, setiap kelompok etnis haruslah diperbolehkan menggunakan bahasa mereka sendiri di sekolah-sekolah maupun di komunitas lokal, di mana mereka hidup dan beraktivitas.
Pada Desember 1992, PBB telah melakukan deklarasi penghormatan terhadap hak-hak kultural setiap orang. Akan tetapi, menurut Brown, seperti banyak deklarasi mengenai hak asasi manusia lainnya, deklarasi ini tidak memiliki ikatan hukum. Bahkan bisa dikatakan, bahwa instrumen HAM yang dirumuskan PBB ini sangatlah lemah, sehingga hampir tidak punya otoritas di hadapan komunitas internasional. Untuk menambal kelemahan itu, PBB perlu secara agresif bekerja untuk menciptakan negara efektif, yang pada akhirnya bertujuan untuk memastikan penerapan instrumen HAM di berbagai belahan dunia. Tidak hanya itu, PBB dan komunitas internasional secara keseluruhan harus mulai menerapkan sanksi, baik itu sanksi ekonomi, politik, bahkan militer, bagi negara-negara yang gagal melindungi HAM warganya.
Pada level persepsi, komunitas internasional dapat membantu setiap negara menuliskan sejarahnya sendiri-sendiri secara tepat. Sejarah yang ditulis haruslah terbuka terhadap diskusi dengan kelompok lain yang mungkin sekali mempunyai kepentingan yang berbeda. Proses ini sendiri melibatkan akademisi dan perwakilan dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Memang, beberapa pertemuan tidak akan menghapus kebencian dan dendam yang diturunkan sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap sejarah. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan dalam bentuk konferensi dan seminar tersebut merupakan suatu usaha yang perlu terus dilakukan, walaupun hasilnya hanya bisa dilihat dan dirasakan di dalam proses.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh komunitas internasional, jika tindak pencegahan konflik gagal, dan perang antar etnis pun terjadi? Menurut Robert Cooper dan Mats Berdal, ada empat hal yang harus dilakukan. (Brown, 1997, 99) Pertama, komunitas internasional harus menyatakan suatu ketegasan moral dan politis untuk melakukan intervensi. Kedua, intervensi yang dilakukan haruslah memiliki tujuan politis yang obyektif. Artinya, tujuan dari intervensi, terutama intervensi militer, haruslah demi kebaikan sebanyak mungkin pihak yang terlibat.
Ketiga, komunitas internasional juga harus mampu menunjukkan sikap konsistensi di dalam melakukan internvensi konflik. Perang antar etnis seringkali berlangsung lama. Kelompok-kelompok yang saling berseteru memiliki motivasi berperang yang besar, terutama karena mereka merasa bahwa keberadaan mereka terancam. Jika komunitas internasional ingin melakukan intervensi semacam itu, maka mereka haruslah memiliki legitimasi politik maupun hukum yang kuat. Dan keempat, komunitas internasional juga harus sudah memutuskan, kapan mereka harus menarik diri dari konflik antar etnis yang tengah terjadi. Jika ini tidak dipertimbangkan terlebih dahulu, komunitas internasional juga bisa terlibat di dalam konflik yang berlarut-larut, dan malah memperbesar skala konflik.
Brown juga berpendapat bahwa proses diplomasi di dalam konflik antar etnis tidak akan pernah berjalan, jika tidak ada ancaman dalam bentuk sanksi ekonomi maupun militer. (Brown, 1997) Yang juga penting diingat adalah, bahwa pendekatan yang bersifat militeristik tidak akan bisa menyelesaikan problem sampai pada akar-akarnya. Pendekatan militer paling maksimal hanya bisa menjadi penengah antara dua pihak yang tengah berseteru dengan menggunakan senjata api, tetapi tidak pernah bisa menciptakan perdamaian. Pendekatan militer, pada dirinya sendiri, tidak akan pernah menyelesaikan problem politis dan perseptual yang sungguh berakar di antara kelompok-kelompok etnis yang berperang. “Kunci kepada suatu resolusi konflik yang sesungguhnya”, demikian tulis Brown, “adalah pengembangan masyarakat sipil dalam suatu komunitas politis yang otentik.” (Brown, 1997, 100) Inilah yang masih harus kita pelajari bersama.

Kepustakaan
1.Brown, M. 1997. Causes and Implications of Ethnic Conflict, dalam The Ethnicity
Reader. Nationalism, Multiculturalism, and Migration, Guibernau dan John Rex
(eds), Great Britain, Polity Press, hal. 80-100.
3Horowitz, D. 1985. Ethnic Groups in Conflict, Berkeley, University of California Press,
4.Lijphart, A. 1990. The Power-Sharing Approach, dalam Conflict and Peacemaking in
Multiethnic Societies, Lexington, Lexington Books, hal. 491-509.
2.Smith, 1986. The Ethnic Origins of Nations, Oxford, Basil Blackwell
Wattimena,A. 2008, MEMAHAMI SELUK BELUK KONFLIK ANTAR ETNIS.
www.rezaantonius.wordpress.com. 8 Juni 2009 pukul 21.00

Minggu, 28 Juni 2009

Saatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah tetapi profesi yang secara terus-menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya hidup berubah. Berbicara tentang keperawatan berarti berbicara tentang keperawatan pada satu waktu tertentu, dan dalam hal ini, bab ini akan membicarakan tentang “Peran Perawat di Bidang Politik”.
Satu trend dalam pendidikan keperawatan adalah berkembangnya jumlah peserta didik keperawatan yang menerima pendidikan keperawatan dasar di sekolah dan Universitas. Organisasi keperawatan professional terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan bagi perawat dalam mendapatkan dan memperluas peran baru.
Trend praktik keperawatan meliputi berkembangnya berbagai tempat praktik dimana perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus-menerus meningkatkan otonomi dan penghargaan sebagai anggota dari tim asuhan kesehatan. Peran perawat meningkat dengan meluasnya focus asuhan keperawatan.
Trend dalam keperawatan sebagai profesi meliputi perkembangan aspek-sapek dari keperawatan yang mengkarakteristikkan keperawatan sebagai profesi, meliputi pendidikan, teori, pelayanan, otonomi dan kode etik. Aktivitas dari organisasi professional keperawatan menggambarkan seluruh trend dalam pendidikan dan praktik keperawatan kontemporer.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana kontroversi strategi pendidikan keperawatan di era globalisasi ini?
2) Bagaimana strategi pelayanan keperawatan di era globalisasi ini?
3) Bagaimana sistem penataan praktek keperawatan di Indonesia?
4) Bagaimana etika politik perawat dalam merawat pasien?
5) Bagaimana perbedaan model zaman sekarang dalam etika profesional?
6) Apa yang dilakukan seorang perawat di dunia politik?
7) Apa PPNI itu?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui politik keperawatan di era globalisasi
2) Agar perawat dapat mengaplikasikan etika politiknya dalam merawat pasien
3) Untuk mengetahui trend politik keperawatan saat ini
4) Untuk mengetahui tatanan pelayanan keperawatan profesional
5) Untuk mengetahui organisasi keperawatan di Indonesia












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kontroversi Strategi Pendidikan Keperawatan di Era Globalisasi
Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan oleh masyarakat. Profesi keperawatan, profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalamsistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan social di Indonesia. Proses ini merupakan tantangan bagi perawat Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan tentunya memerlukan waktu yang lama.
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkwalitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Motivasi dari pendirian institusi pendidikan keperawatanpun sangat bervariasi dari alasan “Bisnis” sampai dengan “Sosial”. Dan yang kemudian menjadi pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola institusi pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia dan tidak siap untuk bersaing.
Salah satu tolok ukur kwalitas dari perawat dipercaturan Internasional adalah kemampuanuntuk dapat lulus dalam Ujian Kompetensi Keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan CGFNS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Di Kuwait pernah terjadi fakta yang memalukan sekaligus menjatuhkan kredibilitas bangsa terutama system pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia memiliki permasalahan yang berkaitan dengan Higher Education bagi perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait
Hal tersebut lebih disebabkan karena system pendidikan keperawatan kita yang sangat bervariasi. Efek yang paling buruk dari hal tersebut adalah tidak diakuinya perawat yang memiliki ijazah S1 Keperawatan (S.Kep) dan mereka hanya disamakan dengan D3 Keperawatan. Institusi pendidikan keperawatan harus dilakukan perubahan secara total antara lain:
a. Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, dari institusi pendidikan keperawatan.
b. Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa Inggris.
c. Menutup Institusi pendidikan keperawatan yang tidak berkualitas.
d. Institusi pendidikan keperawatan harus di pimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keperawatan.
e. Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di Institusi pendidikan keperawatan.
f. Semua dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus berbahasa Inggris secara aktif.
g. Memberantas segala jenis KKN di Institusi pendidikan dimulai dari perizinan penerimaan mahasiswa, proses pendidikan dan akreditasi serta proses kelulusan mahasiswa.
2.2 Strategi Pelayanan Keperawatan di Era Globalisasi
Praktek keperawatan sebagai tindakan professional harus didasarkan pada penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan di jadikan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostic, menyusun perencanaan, malaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Medis/Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi perawat di pandang rendah oleh profesi lain.
Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada seperti belum di tetapkannya RUU Keperawatan serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Indonesia.
c. Minimnya penghargaan financial dari pihak-pihak terkait terhadap perawat.
d. Kurang optimalnya perannya organisasi profesi keperawatan.
e. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perawat dan keperawatan yang lebih disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat berkaitan tentang profesi perawat dan keperawatan terutama di daerah yang masih menganggap bahwa perawat juga tidak berbeda denagn “dokter”.
Sementara itu, dunia Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit juga masih sangat jauh dari nyaman, rekan-rekan perawat bekerja selama 24 jam 1 hari dalam 2 atau 3 shift, sedangkan pendapatan mereka masih sangat jauh dari memadai. Sebagai perbandingan perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait mendapatkan gaji berkisar Rp.15 juta s/d Rp.24 juta sebulan, sedangkan rekan-rekan perawat yang bekerja di Indonesia jauh dibawah kebutuhan hidup mereka.
Beberapa contoh diatas lebih disebabkan karena selama ini kita dianggap kecil oleh profesi lain. Perawat mutlak sangat di perlukan dan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Kita harus sudah mulai berani untuk berbicara karena keadilan itu harus ditegakkan, yang harus segera dilaksanakan adalah:
a. Penentuan standarisasi gaji untuk perawat tentu setelah melalui uji kompetensi.
b. Menciptakan system sirkulasi dalam penempatan perawat Indonesia ke luar negeri sehingga pada jangka panjang akan terjadi peningkatan penghargaan dan kesetaraan terhadap profesi keperawatan di Indonesia.
c. Memberikan sanksi kepada Rumah Sakit atau Institusi pelayanan kesehatan yang tidak memberi gaji sesuai dengan standard.
2.3 Penataan Praktek Keperawatan
Dalam suatu penataan praktek keperawatan perlu adanya undang-undang, maka semua itu harus sesuai dengan standar kompetensi profesi, salah satunya kompetensi perawat ( SKP ) yang sudah diakui secara nasional. Penetapan SKP telah Konvensi Nasional antara BNSP, PPNI, dan Depkes pada tanggal 1-2 Juni 2006 di Gedung Depkes JL. HR Rasuna Said,Kuningan Jakarta Selatan. SKP Nasional Indonesia mengacu pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional ( ICN, 2003 ) yang menekankan pada perawat generalis yang bekerka dengan klie individu, keluarga dan komunitas dalam tatanan asuha keperawatan di rumah sakit dan komunitas serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan social lainnya. Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjajedi 3 judulkompetensi utama, yaitu Praktek keperawatan profesional, Pemberian asuhan keperawatan dan menejemen keperawatan Pengembangan professional.
Peran profesional perawat tidak akan bisa di capai, kalau model praktik keperawatan di pelayanan belum ditata secara professional. Model praktik keperawatan professional yang dilaksanaka oleh perawat di tatanan pelayanan keperawatan masih mejadi suatu abstraksi. Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus digunakan sebagai tuntutan bagi organisasi pelayanan kesehatansistem pemberian pelayanan kesehatan ke system desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.
Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan Tinggi Keperawatan (D3 Keperawatan) dan berlakunya UU No.23 Tahun 1992,dan PERMENKES No.1239/2000; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan professional. Ada 4 model praktik yang diharapkan ada yaitu: model praktik di Rumah Sakit, rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.
2.4 Etika Politik dalam Merawat Pasien
Etika adalah mengenai pengawasan bagi orang lain, kepedulian terhadap perasaan, banyak sumber praktis. “Merawat seseorang berarti bertindak untuk kebaikan mereka, membantu mengembalikan otonomi mereka, membantu mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Mencapai tujuan hidup mereka dan pemenuhan kebutuhan”.
Dalam pengalaman menderita mungkin tidak hanya membuat kita lebih simpati, tapi mungkin juga membantu kita untuk lebih empati terhadap pasien kita. Simpati adalah perasaan yang timbul secara spontan yang kita miliki atau tidak dimiliki. Empati adalah kemampuan untuk meletakkan diri kita dalam sesuatu orang lain, dalam suatu seni yang dapat dipelajari, latihan imajinasi yang dapat dilatih. Perasaan ini dapat menjadi motivator yang kuat, yang juga dapat diperoleh dalam melakukan tanggung jawab professional kita.
Jika kita memilih menjadi perawat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau hanya sebagai aututerapi tanpa disadari, untuk menghadapimasalah dan kecemasan sendiri, pasien akan menderita karena pekerjaan kita yang akan menjadi catatan bagi mereka. (Eadie 1975, Shimpson et all 1983).
Merawat bisa menjadi merusak orang lain jika kita tidak mengerti dinamika aslinya, yaitu seperti dorongan psikologis yang kompleks yang muncul dalam operasi ketika kita dalam posisi tangguh sebagai penolong terhadap pasien yang relative tidak mandiri dan lemah. Inilah, mengapa psikiater dalam pelatihan dan perawat psikiatri didukung untuk mengalami psikoanalisis pribadi atau terlibat dalam terapi kelompok, sebagai proses untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam dan sering tersembunyi dengan maksud lain.
Ketika pengawasan dan perhatian dari perawat yang baik dapat melakukan kekuasaannya dengan baik, over protektif, menguasai atau mengganggu dan pengawasan seperti pada bayi, seperti pengasuhan yang jelek, juga bias menjadi sangat merusak, ini dapat dikatakan bahwa “kebaikan terbesar kita juga merupakan sumber potensial kelemahan dan kejahatan kita”.
Beberapa praktik dan sikap perawat dapat membawa mereka kepada konfliklangsung dengan tim kesehatan yang terkait dalam merehabilitasi kesehatan pasien,dengan fisioterapis dan ahli terapi yang menjabat. Konflik disini bukan hanya dalam persaingan profesionalitas atau ketidak jelasan batasan kerja, tapi juga perbedaan dalam interpretasi tentang perawatan dandalam praktik perawatan.
Dari suatu pandangan yang lazim, perawat juga merupakan pegawai yang melakukan pekerjaan tertentu seefisien dan seefektif mungkin. Hasilnya, pembatasan-pembatasan layak di pertimbangkandan batasan praktik dapat dilakukan pada waktu yang tersedia untuk hubungan perawatan dan dan perhatian terhadap kebutuhan tertentu pasien.
Pengalaman perawat menghadapi kenyataan hubungan kekuasaan dalam bekerja dengan pasien dan dokter,berarti bahwa mereka mengetahui bahwa etika harus dilakukan dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dalam hubungan langsung antar pribadi. Bagaimanapun, tantangan adalah untuk memahami sifat alami hubungan kekuasaan dan etika pembagian kekuasaan, dalam mengajar, dalam management, dalam pendidikan kesehatan dan riset, dalam mempengaruhi sumber daya, dan dalam politik kesehatan local dan nasional.
Perawat tidak hanya belajar merawat pasien, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pasien secara umum. Ini berarti memperhatikan standard dan management pelayanan, kemampuan staff, efisiensi dan efektifitas prosedur yang digunakan, peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan kesehatan masyarakat. Jika kepedulian terhadap kesehatan dipahami dari arti perspektif luas, perawat cepat mengetahui bahwa politik dan etika perawatan berlanjut satu sama lain, pembagian dan kepedulian, menghormati orang dan keadilan, kaitan kekuasaan dan nilai-nilai adalah saling berhubungan, dan memaksakan tanggung jawab politis pada mereka. Pada akhirnya perjuangan menjadi lebih baik dan kondisi yang lebih patut untuk pasien dan perawat serta petugas kesehatan lain yang tidak dapat dipisahkan.
Bukan tidak mungkin menggabungkan kualitas personal yang sensitive dan peduli dengan yang kompeten dan efisiensi dalam management, atau empati kepada orang lain dengan orang yang keras dalam susunan staff, atau perundingan bersama.
2.5 Perbedaan Model Zaman Sekarang untuk Etika Profesional
Adalah sulit untuk menyatukan kembali etika personal yang peduli dengan tipe etika yang diperlukan untuk management sistem pemberian pelayanan kesehatan modern yang kompleks. Hal ini muncul karena tekanan antara perbedaan jenis kompetisi etik dalam kehidupan professional, perbedaan antara: etika keperawatan, etika pelayanan, etika pelayanan public dan etika bisnis.
2.6 Saatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik
Akhir – akhir ini banyak masalah yang melanda profesi keperawatan ini berkaitan dengan tidak adanya seseorang perawat yang menjadi pemegang kebijakan baik di eksekutif maupun legislative.disamping itu juga disinggung mengenai undang – undang keperawatan yang sampai kini belum juga terselesaikan karena tidak adanya keterwakilan seorang perawat dalam posisi tersebut.
Arti politik secara umum adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Disebutkan juga bahwa politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bias dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk bias teraktualisasikan, saat tiap individu lain sesuai dengan normadan hukum yang berlaku.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan seorang perawat dalam berperan secara aktif maupun pasif dalam dunia politik. Mulai dari kemampuan yang harus dimiliki dalam bidang politik hingga talenta yang harus dimiliki mengenai “Sense of Politic”. Dalam wilkipedia Indonesia disebutkan bahwa seseorang dapat mengikuti dan berhak menjadi insane politik dengan mengikuti suatu partai politik , mengikuti ormas atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Maka dari hal tersebut seseorang berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil sebuah kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari hal tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal terkait dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.
Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan adalah bahwasanya dunia politik bukanlah dunia yang asing, namun terjun dan berjuang bersamanya mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini ditunjukkan belum adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Tidak dipungkiri lagi bahwa seorang perawat juga rakyat Indonesia yang juga memiliki hak pilih dan tentunya telah melakukan haknya untuk memilih wakil-wakilnya sebagai anggota legislative namun seakan tidak ada satu pun suara yang menyuarakan hati nurani profesi keperawatan. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena profesi kita pun membutuhkan penyampaian aspirasi yang patut untuk didengar dan diselesaikannya permasalahan yang ada, yang tentunya akan membawa kesejahteraan rakyat seluruh profesi keperawatan. Sulitnya menjadikan RUU Keperawatan seringkali dikaitkan dengan tidak adanya keterwakilan seorang perawat di badan legislative sana.
Menjadi bagian dari dunia perpolitikan di Indonesia, diharapkan seorang perawat mampu mewakili banyaknya aspirasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada di profesi keperawatan salah satunya seperti yang disebutkan diatas yaitu mengenai bagaimana meregulasi pendidikan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan tercapainya kualitas perawat bias dipertanggung jawabkan.
Regulasi pendidikan akan menjadikan tidak bermunculnya institusi pendidikan keperawatan yang hanya mencari untung, politik uang, dan institusi yang tidak melakukan penjaminan mutu akan output perawat yang di luluskan setiap periodenya. Dengan regulasi pendidikan keperawatan, semua menjadi terstandarisasi, profesi keperawatan yang mempunyai nilai tawar, nilai jual, dan menjadi profesi yang dipertimbangkan.
Regulasi kewenangan perawat di lahan kliniktidak kalah pentingnya dengan regulasi pendidikan, dimana regulasi pendidikan merupakan bagaimana kita melakukan persiapan yang matang sebelum membuat dan memulai (perencanaan), dimana kita melakukan pembangunan fondasi yang kokoh dan system yang mensupport akan terbentuknya generasi perawat-perawat yang siap tempur. Regulasi kewenangan perawat dilahan klinik akan menjadiakan profesi keperawatan semakin mantap dalam langkahnya. Kewenangan perawat yang mandiri, terstruktur dan ranah yang jelas akan menjadikan perawat semakin professional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam regulasi kewenangan ini di harapkan tidak terjadi adanya overlap dan salah satu yang paling penting adalah menghindari terjadinya malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang perawat sehingga mampu terjun ke dunia politik. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah mendukung salah satu partai politik. Partai politik ini akan menjadi motor penggerak pembawa di kancah perpolitikan Indonesia. Banyak partai yang menawarkan posisi legislative, ada partai yang melakukan pengkaderan dari awal yang mampu menyiapkan calon-calon legislative dari embrio yang akan diberikan suntikan ideology dari partai tersebut, ada juga partai yang memberikan kesempatan kepada siapa saja yang siap untuk berjuang bersama-sama mendukung partainya dan menjadi calon legislative.
2.7 Organisasi Keperawatan
Partai Perawat Nasional Indonesia (PPNI) adalah organisasi keperawatan tingkat nasional yang merupakan wadah bagi semua perawat Indonesia, yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1974.
Menurut catatan yang ada sebelum PPNI, telah terdapat beberapa macam organisasi keperawatan. PPNI pada awalnya terbentuk dari penggabungan beberapa organisasi keperawatan, seperti:
• IPI (Ikatan Perawat Indonesia),
• PPI (Persatuan Perawat Indonesia),
• IGPI (Ikatan Guru Perawat Indonesia),
• IPWI (Ikatan Perawat Wanita Indonesia).
Setiap orang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang syah dapat mendaftarkan diri sebagai anggota PPNI dan semua mahasiswa keperawatan yang sedang belajar dapat disebut calon anggota.
PPNI setiap 4 tahun sekali menyelenggarakan musyawarah nasional. Dalam musyawarah ini selain pengurus pusat juga hadir para pejabat dan pengurus cabang. Berbagai masalah keperawatan dibahas dalam MUNAS tersebut yang kemudian memberikan hasil yang berupa rekomendasi atau keputusan organisasi.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan profesi, maka organisasi profesi keperawatan harus melakukan 5 fungsi, yaitu:
1. Definisi dan pengaturan professional melalui penyusunan dan penentuan standar pendidikan dan praktik bagi perawat umum dan spesialis. Pengaturan dapat ditempuh melalui pemberian izin praktik (lisensi), sertifikat, dan akreditasi. Pengaturan juga dapat dilakukan melalui adopsi kode etik dan norma perilaku (Styles, 1983).
2. Pengembangan dasar pengetahuan untuk praktik dalam komponen luas dan sempit. Sumbangan utama untuk pengembangan ilmu keperawatan telah diberikan oleh berbagai ahli teori. Tujuan utama teori keperawatan adalah netralisasi ilmu keperawatan. Tantangan bagi para perawat di masa depan adalah menggerakkan pertanyaan dan memformulasikan teori dari teori yang telah dipublikasikan ini dan kemudian melakukan uji hipotesa melalui penelitian keperawatan. Karena hanya penelitian yang dapat menentukan manfaat suatu teori, penelitian memberikan sumbangan utama bagi pengembangan pengetahuan keperawatan.
3. Transmisi nilai-nilai, norma, pengetahuan, dan keterampilan kepada anggota profesi untuk diterapkan dalam praktik. Fungsi ini dilakukan melalui pendidikan para perawat dan berbagai proses sosialisasi.
4. Komunikasi dan advokasi tentang nilai-nilai dan sumbangsih bidang garap kepada masyarakat dan konstitusi. Fungsi ini menuntut organisasi perawat untuk berbicara pada perawat dari suatu posisi kesepakatan luas. Penting bagi perawat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan UU dan kebijakan pemerintah.
5. Memperhatikan kesejahteraan umum dan social anggota. Fungsi ini dilakukan oleh organisasi perawat dimana organisasi perawat ini memberikan dukungan moral dan social bagi anggota untuk menjalankan peranannya sebagai tenaga professional dan mengatasi masalah professional anggotanya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pada akhir makalah ini kami ingin lebih menegaskan bahwasannya politik harusnya disikapi sacara serius oleh semua pihak agar perawat Indonesia ke depan lebih siap umtuk berkompetisi di era globalisasi. Semua pihak yang terkait harus segera bersinergi dalam rangka menciptakan perbaikan dan perubahan untuk menciptakan sistem yang lebih baik, pihak – pihak tersebut antara lain adalah:
 Pemerintah
 Swasta
 Organisasi profesi ( PPNI )
 Lembaga pendidikan
 Perawat dan calon perawat
Ada beberapa hal yang menurut kami perlu segera dilakukan agar perbaikan keperawatan di Indonesia dapat segera tercapai, antara lain:
 Pengesahan UU Pratek Keperawatan
 Pembentukan Nursing Council (Nursing Board)
 Reformasi system pendidikan keperawatan Indonesia
 Peningkatan fungsi organisasi profesi








3.2 Saran
Fakta yang ada pada masyarakat, bahwa lulusan perawat masih belum di akui sebagai sosok profesional yang akan mampu memberikan kontribusi yang hebat dalam system pelayanan. Pandangan tersebut harus kita terima dengan lapang dada dan sekaligus sebagai pemicu adrenalin kita untuk membuktikan jati diri kita, bahwa seorang perawat adalah profesional dengan segala atribut yang menyertainya.
Hal yang harus dan terus kita lakukan adalah memperbaiki citra perawat dengan menunjukkan jati diri perawat dengan KOREK API (Komunikasi, Organisatoris, Responsif and Responsible, Efisiensi dan Efectif, Komitmen serta tunjukkan API : Aktualisasi, Produktif,dan Inovatif).














DAFTAR PUSTAKA

 M. Muhammad, Siswanto. 2009. Trend dan Perkenbangan Kebutuhan Pelayanan Keperawatan dalam Persaingan Global. Dalam Simposium Nasional Keperawatan Universitas Airlangga
 Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
 Nursalam. 2007. Manajement Keperawatan. Konsep dan Praktik. Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika
 Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
 Reformasi Keperawatan Indonesia. Website URL: http: //www.inna-ppni.or.id
 Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan Hukum. Jakarta: EGC
 Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global. Website URL: http: // io.ppi-jepang.org
 Lowenberg & Dolgoff. 1988. Ethical Decisions for Social Work Practice. F.E. Peacock Publishers, Inc
 Lancaster, J. 1999. Nursing Issues. In Leading and Managing Change. St. Louis: Mosby Company
 Lindberg, JB., Hunter, ML., Kruszewski, AZ. 1990. Introduction to Nursing: Concept, Issues & Opportunities. Philadelphia: JB Lippincott
 Bartels, JE. 2005. Educating Nurses for the 21st Century. Nursing and Health Sciences
 Burns & Grove. 1999. The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B. Saunders Co
 Buchan, J. & Calman, L. 2007. Summary of The Global Shortage of Registered Nurses: An Overview of Issues and Action. International Council of Nurses. Dalam www.icn.ch
 Chitty, K.K. 1997. Proffesional Nursing. Concepts & Challenges . 2ed. Philadelphia: W.B. Saunder Company


 Magnusdottir H. 2005. Overcoming Strangeness and Communication Barriers: A Phenomenological Study of Becoming a Foreign Nurse. International Nursing Review
 http://pioners07.blogspot.com/2009/02/saatnya-perawat-terjun-ke-dunia-politik.html
 Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 2 edition